Mancing bagan, atau penangkapan ikan menggunakan bagan, memiliki sejarah yang berkaitan erat dengan perkembangan perikanan di Indonesia, khususnya di wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Awal mula penggunaan bagan diperkirakan pada tahun 1950-an oleh nelayan Makassar dan Bugis. Bagan sendiri adalah alat tangkap ikan yang menggunakan jaring dan lampu untuk menarik perhatian ikan, yang kemudian diangkat ke permukaan.
Berikut adalah penjelasan lebih detail mengenai sejarah mancing bagan:
Asal Usul:
Bagan diperkenalkan oleh nelayan Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara pada tahun 1950-an.
Perkembangan:
Awalnya, bagan mungkin menggunakan lampu asetilena, kemudian berkembang dengan penggunaan lampu uap parafin bertekanan tinggi yang diproduksi di Indonesia.
Penyebaran:
Dalam waktu singkat, bagan menyebar ke seluruh perikanan laut di Indonesia dan mengalami berbagai modifikasi bentuk.
Jenis Bagan:
Terdapat beberapa jenis bagan, antara lain bagan tancap (tidak dapat dipindahkan), bagan rakit, bagan perahu, bagan perahu beranjang-anjang, dan bagan berlayar.
Mancing Cahaya:
Bagan dikenal juga sebagai alat penangkapan ikan dengan metode “light fishing” atau memancing cahaya, karena lampu yang digunakan untuk menarik perhatian ikan.
Warisan Budaya:
Di beberapa daerah, bagan bahkan dianggap sebagai warisan budaya tak benda, seperti di Desa Bajo yang menggunakan bagan perahu untuk menangkap ikan pelagis kecil.
Dengan demikian, mancing bagan bukan hanya sebuah metode penangkapan ikan, tetapi juga bagian dari sejarah dan budaya perikanan di Indonesia.